-->

Asal-usul Desa Cikedung Bagian 1

Feb 10, 2015
Balai Desa Cikedung

Pada tahun ± 1700 di Indramayu bagian selatan, mulai kedatangan penduduk yang berasal dari Desa Sumber Jatitujuh Kabupaten Majalengka, diantaranya yaitu : Ki Rawan, Ki Rasiyem, Ki Nasta dan beberapa orang pengikutnya. 

Mereka bermaksud akan membabad hutan untuk dijadikan Pedukuhan sebagai tempat tinggal, sawah dan ladang sebagi tempat bercocok tanam untuk kebutuhan hidupnya. 

Mereka mencari tempat yang subur serta dekat sungai agar memudahkan untuk kebutuhan minum, mandi dan lain-lain. Kemudian di hutan itu mereka menemukan sebuah pohon yang besar yang bernama Kesambi Gedhe yang letaknya tidak begitu jauh dengan sungai, keadaan tanahnya juga tergolong subur. 

Setelah mereka beristirahat dan bermalam di bawah pohon kesambi besar itu, keesokan harinya Ki Rawan menyuruh beberapa orang pengikutnya pulang ke Desa Sumber untuk menjemput para keluarganya dan agar membawa perlengkapan-perlengkapan lain berupa alat dapur, dan lain-lain. 

Kedatangan penduduk yang pertama untuk membabad hutan dan membuat pedukuhan ini hanya 15 orang kepala keluarga (sejumlah 50 orang). Mereka terus bekerja dengan penuh semangat siang dan malam, satu persatu gubug-gubug didirikan untuk dijadikan tempat tinggal. 

Sementara untuk memenuhi kebutuhan pangannya mereka juga memanfaatkan hasil buah-buahan dan dedaunan hutan yang dapat dimakan. Lama-kelamaan dengan kerja keras dan membangun secara gotong-royong terbentuklah Pedukuhan, kemudian Ki Rawan memberinya nama Kalen Sambi

Di sekeliling Padukuhan Kalen Sambi masih merupakan hutan belantara, masih banyak binantang buas dan terkadang makhluk halus sebangsa jin atau setan suka mengganggu keberadaan pedukuhan. 

Ini disebabkan karena mungkin tempat tinggal hunian mereka telah diganggu atau dibabad untuk dijadikan tempat tinggal oleh Ki Rawan dan kawan-kawan. Maka untuk mengatasi hal ini Ki Rawan sebagai tetua didalam hatinya terbersit keinginan untuk menimba ilmu kaweruh kepada Ki Bagus Warida/Ki Arsitem Sumber dan ke Cirebon Girang (Mayung). 

Mengapa Ki Rawan memilih dua tempat untuk menempa diri agar memiliki daya linuwih yang lebih mumpuni untuk melindungi warganya disana, dikarenakan daerah tersebut masih ada hubungan keluarganya dengan orang tuanya disamping itu dua tokoh di daerah itu terkenal sebagai orang arif bijaksana dan sakti mandraguna. 

Pada suatu pagi yang cerah, penduduk Kesambian dikumpulkan di depan pondok ki Rawan yang dekat pohon kesambi gedhe itu. Meraka merasa heran mengapa Ki Rawan mengumpulkannya secara tiba-tiba, diantara tandatanya dan keheningan itu. 

Ki Rawan mengutarakan maksudnya akan meninggalkan pedukuhan untuk sementara waktu sehubungan ingin menambah ilmu pengetahuan dan kelinuwihan untuk melindungi mereka dari gangguan binatang buas dan mahluk halus serta untuk memajukan tata cara mengolah pertanian agar kelak masyarakat pedukuhan Kalen Sambi menjadi subur makmur. 

Warga menjadi khawatir atas keselamatan Ki Rawan di perjalanan menempuh kedua tempat yang dituju, demikian juga mereka khawatir dan merasa ragu jika Ki Rawan meninggalkannya. Namun semua ini adalah harus ditempuh demi untuk kemajuan dan kemakmuran bersama. Kemudian mereka sepakat agar Ki Rawan dalam menuntut ilmu di Sumber dan Cirebon Girang itu diharapkan jangan terlalu lama. 

Pada waktu itu warga Pedukuhan Kalen Sambi sudah lebih dari 100 orang, Ki Rasyan mulai sejak itu ditugaskan untuk menjabat “Sesepuh” sementara. Sebelum pergi meninggalkan pedukuhannya Ki Rawan dan kawan-kawan mengubur suatu benda yang dikeramatkan (jimat) dari leluhurnya yang dibungkus dengan kain putih. 

Ritual penguburan jimat itu dilakukan dibawah pohon asem gedhe yang sekelilingnya ditumbuhi bambu yang rimbun. Kemudian ditempat itu disebut sebagai Kramat Asem atau lebih dikenal dengan nama Kramat Barongan. Hal ini dimaksudkan untuk menangkal dari segala bentuk bala/bahaya baik yang datang dari binatang buas, mahluk halus ataupun sesama manusia. 

Keesokan harinya Ki Rawan berpamitan meninggalkan keluarga dan warga Pedukuhan, meski mereka berkeberatan namun tetap memberikan dukungan demi kemajuan kelak bagi Pedukuhan Kalen Sambi. Namun Ki Rasyan rupanya bisa segera mengambil alih posisi Ki Rawan, maklum beliau adalah saudara seperguruan juga dengan Ki Rawan. 

Kemudian Ki Rasyan bersama-sama warga secara bertahap melakukan perbaikan sistem seperti : 
  1. Keamanan lingkungan dan tanaman dari serangan hama/binatang 
  2. Kebersihan lingkungan dan tempat tinggal 
  3. Berhubungan dengan penduduk desa tetangga 
Akhirnya pedukuhan Kalen Sambi semakin hari semakin maju saja, lahan pertanian semakin bertambah luas. Para penduduk setiap hari rajin membabad hutan sehingga semakin luaslah tanah garapan yang dijadikan lahan pesawahan dan ladang. 

Untuk memajukan Pedukuhannya Ki Rasyan sering berkunjung ke Desa Dangdur (Jambak), Pasirjati (Jatisura) Karanglawas (Amis) dan Lodoyong. Begitu juga dari desa-desa tersebut mulai banyak yang berkunjung membangun persaudaraan dan kekeluargaan yang erat. 

Mereka saling membantu jika ada hal-hal yang buruk menimpa desa-desa mereka, Ki Rasyan dalam hal ini sering dimintai bantuan oleh desa-desa disekitarnya. Secara lambat laun akhirnya Pedukuhan kalen Sambi berubah menjadi Desa Kesambian yang lumayan cukup ramai, karena sudah terjalin dengan masyarakat luar. 

Diceritakan Ki Rawan yang sedang dalam perjalanan menuju Sumber, dengan gigih ia menerobos hutan belantara banyak rintangan yang ia hadapi. Buah-buahan hutan dan dedaunan menjadi sumber makanannya, ia melintasi semak belukar dan rintangan dari khewan penghuni hutan ia lalui dengan tanpa keluh kesah dan semangat yang tinggi, dengan berbekal pasrah sabar dan terus berusaha akhirnya Ki Rawan sampai juga ke tujuan. 

Keadaan di Sumber sepi tidak seperti waktu sebelum Ki Rawan pergi mengembara meninggalkan kampong halamannya, ia menjadi heran mengapa keadaanya seperti ini namun kemudian ia melanjutkan perjalannya untuk menemui Ki Arsidem. 

Setelah bertemu dengannya dan mendapatkan jamuan dari tuan rumah kemudian mereka berdua bercakap-cakap dan Ki Rawanpun dan segera mengutarakan tujuannya. Ki Arsidem menjelaskan bahwa situasi Sumber pasca perang saudara dengan Cirebon yang diperkuat oleh Kompeni Belanda, keadaanya kacau dan penduduk menjadi sunyi senyap pada ketakutan. 

Dalam perang itu pasukan Sultan Anom Cirebon dipimpin oleh Pangeran Suryanegara. Sehingga putra-putra Pangeran Sumber dan prajurit-prajuritnya mengalami kekalahan, oleh karena itu Ki Arsidem menyarankan agar Ki Rawan berguru langsung saja kepada Ki Arsitem didaerah Mayung Cirebon Girang. 

Namun permintaan Ki Arsidem jika kelak setelah pulang dari Mayung agar supaya singgah terlebih dahulu ke Sumber dikarenakan beliau ingin ikut bebedah di Padukuhan Kesambian. Kemudian Ki Rawan setuju dengan saran Ki Arsidem dan meneruskan perjalanan ke Mayung Cirebon Girang. 

Dari sini ia melewati bukit-bukit, menyebrangi sungai dan melintasi hutan belantara namun tetap dilaluinya dengan ketabahan dan semangat yang membaja. Jika dibandingkan jarak tempuh antara Padukuhan Kesambian ke Sumber, rupaya jarak Sumber ke Mayung lebih jauh. 


Sepertinya keadaan di Cirebon pun tidak auh berbeda dengan di Sumber, situasi di pelabuhan tempat kapal-kapal asing berlabuh untuk memperjual belikan barang seringkali terjadi bentrokan antara pendatang dan pribumi sehingga situasi ini mempengaruhi keamanan dan ketentraman wilayah sekitarnya. 

Setelah sampai di rumah Ki Arsitem kemudian dijamu dengan semarak kekeluargaan dan ala kadarnya. Setelah selesai masa perjamuan kemudian mereka berdua bercakap serius juga menyampaikan salam dari Ki Arsidem serta menceritakan keadaan daerah Sumber. 

Kemudian Ki Rawan mengutarakan maksud kedatangannya bukan karena yang lain hayanlah ingin berguru ilmu kesaktian dan pengetahuan yang bertujuan untuk membangun Padukuhan Kesambian. Ki Arsitem menolak untuk menerima Ki Rawan sebagai muridnya karena keadaan di Cirebon yang sedang kacau akibat telah terjadi perang saudara karena perebutan kekuasaan sehingga menimbulkan Cirebon dibagi menadi tiga wilayah kekuasaan yaitu : Cirebon Girang, Kasepuhan dan Kanoman. 

Maka jika Ki Rawan tinggal lama-lama di Mayung dikhawatirkan bisa menjadi korban salah sasaran. Dengan demikian atas anjuran Ki Arsitem diutuslah Ki Jangkung orang kepercayaannya untuk ikut ke Padukuhan Kesambian agar menjadi sesepuh dan mengajarkan ilmu kesaktian dan pengetahuan yang telah diajarkan Ki Arsitem kepadanya. 

Disarankan juga kepada keduanya agar mampir dan membawa teman/saudaranya yang berada di Bantarjati dan Jatitujuh untuk ikut ke Padukuhan kesambian agar padukuhan baru ini dapat maju dan berkembang lebih cepat. Setelah keduanya sepakat akhirnya mereka berdua dan keluarga Ki Jangkung berpamitan memohon doa restu dari Ki Arsitem. 

Kemudian mereka bergegas menuju ke Bantarjati untuk menjemput Ki Jatok dan ke Bantarjati menjemput Ki Marsidem dan yang terakhir singgah ke Sumber mengajak Ki Arsidem sesuai pesan dan keinginan darinya. 

Dari Sumber banyak juga mereka yang ikut pindah ke pedukuhan Kesambian, Ki Rawan berhasil membawa rombongan sebanyak 20 kepala keluarga yang berjumlah 70 orang untuk bermukim ditempat yang baru dan penuh harapan ialah Padukuhan Kesambian yang telah dibedahnya bersama teman-temannya. 

Dalam perjalanannya pulang ke padukuhan, Ki Rawan melihat perubahan-perubahan desa yang dahulu telah dilaluinya, ia tak menyadari bahwa telah meninggalkan padukuhan selama bertahun-tahun, begitu gembiranya hati Ki Rawan karena kali ini ia membawa rombongan yang banyak dan disertai oleh orang-orang yang tangguh. 

Didalam pikirannya maka sudah barang tentu kelak padukuhan yang dibanunnya itu akan lebih berkembang dengan cepat. KI RAWAN KEMBALI KE PADUKUHAN. Ki Rawan dan rombongan sampailah di Padukuhan Kesambian, warga setempat kaget dan langsug beramai-ramai menyambutnya dengan penuh suka cita. 

Mereka saling menyambut saudaranya yang berasal dari Jatitujuh, Bantarjati dan Sumber, setelah kerinduaan dan hiruk-pikuk reda kemudian meraka berkumpul mendengarkan penuturan Ki Rawan sambil menikmati hidangan alakadarnya dari tuan rumah. 

Kemudian Ki Rawan menceritakan apa yang dialaminya dari semenjak kepergian hingga sampai kembali ke Padukuhan dengan selamat sentosa serta diiring dengan rombongan yang hendak menjadi warga baru penghuni Padukuhan kesambian. Dan mulai sejak itu Ki Jangkung yang merupakan wakil Ki Arsitem Mayung Cirebon Girang diangkat menjadi sesepuh Padukuhan Kesambian. 

Beliau juga sesuai pesan gurunya Ki Arsitem, mengajarkan ilmu kanuragan dan kesaktian serta pengetahuan mengatur dan menata padukuhan, sehingga warga menjadi tangguh dan pemberani karenanya dalam waktu yang singkat keadaan menjadi maju pesat, lahan pesawahan dan ladang semakin luas dengan hasil bumi yang semakin melimpah. 

Ilmu agama, kesaktian dan dalam hal ini olah tatacara berperang lebih sering diajaran oleh Ki Jangkung, dimaksudkan untuk mempertahankan diri dan padukuhan dari berbagai kemungkinan serangan dari pihak luar sebab Ki Jangkung berkeinginan agar kejadian hal serupa yang menipa Manyung Cirebon Girang agar jangan sampai terulang pada Padukuhan yang baru ini. Maka terciptalah pemuda-pemuda yang tangguh dan pemberani seperti Ki Rawan, Ki Marsidem dan Ki Jatok mereka selalu memimpin didepan jika terjadi huru-hara di padukuhan itu. 

Maka lambat laun atas jasa-jasa Ki Jangkung itu Pedukuhan Kesambian menjadi maju pesat dan jadilah sebuah pedesaan yang ramai dan berkembang, desa baru yang bernama kesambian itu terkenal dan menjadi buah bibir di desa-desa tetangganya. 

Karena suka memberikan bantuan-bantuan kepada desa tetangganya dalam hal keamanan, tentu saja dengan seijin Ki jangkung. Pada suatu hari warga desa Kesambian sebagaimana biasa pergi bekerja di kebun, lading dan pesawahan masing-masing. Warga banyak juga yang bercocok tanam disebelah timur desanya tepatnya di Kalen Tengah dan Maja Tengah (sebutan untuk lokasi sekarang). 

Pada hari itu terdengar kentongan yang bertubi-tubi sebagai pertanda bahaya dan suara yang bergemuruh dari arah Selatan, dari kejauhan terlihat juga beberapa kibaran bendera berwarna merah yang dibawa oleh barisan pasukan rakyat menuju ke arah Barat yang kemudian terjadilah perang di desa Karang Lawas yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Perang Amis

Dengan tidak berpikir panjang lebar lagi Ki Marsidem, Ki Rawan dan ki Jatok mengajak mereka yang sedang bekerja di ladang supaya menyiapkan diri segera menuju ke Karang Lawas. Ki Arsidem dan Ki Nasta supaya pulang memberikan laporan kepada Ki Jangkung di Kesambian, agar supaya semua perlengkapan perang dan rakyat ada dibawa menyusul ke sungai sebagai batas ladang/desa Kesambian. 

Laporan dari Ki Arsidem dan Ki Nasta sudah diterima oleh Ki Jangkung, kemudian beliau memerintahkan agar mengumpulkan warga berikut peralatan perang. Setelah semuanya berkumpul kemudian Ki Jangkung mengatur siasat : 

  1. Ki Nasta supaya menjaga keselamatan warga desa Kesambian yang ditinggalkan. 
  2. Ki Arsidem dan Ki Rasyan agar membawa pasukan rakyat untuk menyusul Ki Marsidem di perbatasan. 
  3. Diperintahkan agar pasukan jangan terlebih dahulu bergerak jauh. Pasukan supaya bertahan dulu saja dari ladang-ladang garapan mereka. 
Peperangan semakin berkobar, suara kentongan, bedug, bende, jerit-tangis, dan teriakan yang heroik terdengar bergemuruh. Terkadang terdengar juga suara tembakan bedil, suara –suara senapan itulah yang menyebabkan menjadi pembakar jiwa para pejuang kita. 

Sehingga ia lupa akan pesan Ki Jangkung agar bertahan saja pada ladang-ladang garapan atau batas wilayah. Pasukan Ki Marsidem terus maju sampai ke dekat sungai Amis, namun tiba-tiba diserang musuh secara mendadak yang muncul dari sungai sehingga pasukan Ki Marsidem tidak dapat maju lebih jauh, perang segera berkecamuk dan korban berjatuhan dari kedua belah pihak. 

Pasukan Ki Marsidem banyak yang gugur sehingga kekuatannya tidak berimbang lagi, teriakan-teriakan keras terdengar oleh Ki Arsidem dan Ki Rasiyan dari kejauhan, kemudian secepat kilat kedua sesepuh dan pasukannya memberikan pertolongan. 

Barisan bantuan tiba di Grojogan (Kubang), karena kekuatannya yang tidak seimbang maka dari pihak Kesambiyan banyak yang terluka dan gugur. Pasukan musuh rupaya mendapat Bantuan dari Kompeni Belanda, mereka menyerang dengan menembakan senjata api. Sehingga dari kesambian pertahannya menjadi goyah dan dengan cepat dapat dikalahkan. 


Ki Marsidem segera memberi perintah agar pasukannya yang masih hidup mundur dengan menelusuri ladang dan sungai kearah barat daya, pada saat itu beliau ditandu karena kedua pahanya terkena senjata beracun dan lumpuh. Jenajah Ki Rawan ditinggalkan dimedan tempur demikian juga para pasukan yang gugur. 

Karena waktu itu perlu menyelamatkan diri, kemudian pasukan diistirahatkan di bawah pohon Dadap pinggir sungai Cibubul yang jernih airnya. Sambil beristirahat disitu Ki Marsidem berpesan, “bahwa perbuatan dan tindakan yang aku kerjakan ini memang aku sesalkan, korban dari pihak kita tidak sedikit hingga aku sendiri menyusahkan kawan-kawan. 

Sesepuh pasti akan marah, oleh karena itu daripada aku tertangkap musuh dan nanti akan memperbesar kerugian maka lebih baik aku disirnakan (dibunuh) dan dikuburkan disini, kelak kampung ini berilah nama CIDADAP”. Cidadap berasal dari kata, Cai dari bahasa sunda yang berarti air yang bersumber pada kedung atau bagian sungai yang dalam dan agak lebar pada lainya, sedangkan Dadap berasal dari kata pohon Dadap. 

Walau mereka tidak tega, namun atas pesan Ki Marsidem yang dihormati dan pertimbangan akan keselamatan warga maka akhirnya pemimpin mereka disirnakan dengan kepiluan pengikutnya. Setelah selesai pemakaman pasukan kembali ke kampung Kesambian dan segala kejadian dituturkannya oleh Ki Jatok kepada Ki Jangkung sebagai sesepuh. 

Karena kondisi keseimbangan badannya Ki Jatok terganggu sewaktu pulang ke Kesambian ditengah perjalanan antara kampong Cidadap dan Kesambian, sebilah keris milik Ki Marsidem yang dibawanya terjatuh sewaktu ia minum dipinggir kubang peswawahan. Baru sore harinya dicari dan diketemukannya lagi. 

Ki Jatok menyampaikan cerita ini dari awal sampai akhir, selanjutnya Ki Jangkung minta supaya rakyat segera mengadakan pemakaman para korban sambil melihat situasi daerah bekas kejadian perang. 

Memang benar apa yang telah terjadi, tanah disekitar bekas kejadian kelihatan memerah bekas darah. Akhirnya Ki Jangkung memberikan nama-nama tempat kejadian itu sebagai kenang-kenangan kelak bagi warga dan keturunannya, tempat ketika mendengar suara gemuruh perang di blok Sawah Maja disebut KUBANG KAWEN

Sewaktu pasukan melalui disepanjang jalan menuju Karang Lawas, kampung itu disebut KARANGDAWA, digrojogan disebut KI RAPON tempat makam Ki Rawan. Di jembatan disebut KECEPOT yang sekarang merupakan batas antara Desa Cikedung dan Desa Amis. 

Di pekuburan warga sebelah barat disebut KARANG MELIPIR, pasukan kesambian lolos ke Barat Daya dan tempat dimakamkannya Ki Marsidem disebut CIDADAP, sebagai kenangan atas tekad yang membaja atas Ki Marsidem dan Cai Kedung dibawah pohon Dadap. 

Sebagai tanda pemakamannya ditancapkan pohon Walikukun yang merupakan bekas tandu Ki Marsidem. Sampai sekarang pohonnya masih hidup oleh karenanya disebut juga Situs Kramat Ki Buyut Walikukun. 

Ketika Keris pusaka Ki Marsidem yang dibawa oleh Ki Jatok jatuh di tepi kubangan, air sawahnya kelihatan merah, kemudian kubang tersebut diberinama Kubang Amis dan Sawah Jatok, yang kemudian hari Ki Jatok juga dimakamkan disini. Itulah diantara nama-nama empat yang berada dilingkungan Cikedung sampai sekarang masih ada.  

Bersambung 

Terima kasih kepada Bapak Tarka

0 komentar:

Post a Comment test